Sebelum memulai kembali pembahasan, pastikan pembaca sudah menyimak bagian #1 artikel ini di ASD dan LRFD, Hemat Mana? (Bagian #1).

Berbicara perihal perencanaan elastis dan inelastis, sebenarnya seperti membahas faktor ekonomi dari sebuah desain. Bukan melulu karena prosedur hitungan yang lebih rumit, tapi juga karena soal duit. Lain hal dengan konsep ASD Stress yang mengacu pada perencanaan elastis, memastikan semua tegangan yang terjadi di bawah tegangan ijin (fy/SF), konsep ASD Strength dan LRFD mengacu pada perencanaan inelastis, memperhitungkan tegangan pasca leleh (fs>fy), sehingga dapat dihasilkan kuat penampang ultimate.

Sedemikian hebatkah terobosan dari perencanaan inelastis?

Perencanaan inelastis memungkinkan perencana untuk dapat memprediksi perilaku keruntuhan sebuah struktur, apakah perilakunya daktail atau tidak. Kondisi tersebut menjadi penting guna mengantisipasi adanya beban tak terduga yang mungkin terjadi, seperti halnya beban impak dan gempa.

Perbedaan ASD Strength dan LRFD

Ngobrolin soal perencanaan inelastis, faktanya di AISC 360-05 secara resmi ada dua metode yang diusung, yaitu ASD Strength dan LRFD. Di postingan Bagian #1, kita telah membahas bahwa ASD (Allowable Strength Design) dan LRFD (Load and Resistance Factor Design) sama-sama memakai nominal strength dalam formulasinya. Oleh karena itu, kita bisa pahami bahwa pada dasarnya keduanya identik.

Tiga hal yang membedakan dua metode tersebut adalah load combinationresistance factor, dan safety factor saja. Namun, meskipun ketiganya berbeda, tetapi kedua metode ini telah dikalibrasi agar mempunyai tingkat keamanan yang sama pada kondisi pembebanan tertentu, khususnya terhadap pembebanan tetap dengan konfigurasi beban hidup nilainya tiga kali lipat beban mati (LL = 3 x DL). Jadi, pada kondisi demikian, keduanya (ASD dan LRFD) akan menghasilkan nilai yang sama persis.

Adapun perbedaannya adalah pada safety factor. LRFD menggunakan faktor keamanan yang disesuaikan dengan kasus beban yang dihitung berdasar statistika probabilistik. Sedangkan, ASD Strength menggunakan faktor keamanan tunggal yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman empiris. Jelas terjadi perbedaan besarnya faktor aman untuk tiap-tiap kasus beban. Dalam kasus ini, pengambilan dasar dari nilai safety factor metode LRFD dianggap lebih logis dan dapat diterima.

ASD Stress Dalam Desain Fondasi dan Serviceability Check

ASD Stress memang hebat, tetapi hanya untuk kinerja elastis, ASD Stress tidak didesain untuk memprediksi perilaku inelastis struktur. Nah, dengan pemahaman tersebut, mari perhatikan bagaimana kedua metode tersebut diterapkan.

Struktur atas memang didesain agar bisa berperilaku daktail, khususnya untuk mengatasi beban tak terduga. Oleh karena itu, analisis desain yang digunakan harus bisa mengakses kondisi inelastis. Itulah gunanya LRFD. Kondisi berbeda ada pada desain fondasi, keruntuhan tidak boleh terjadi. Berarti harus didesain elastis. Jadi, untuk apa LRFD diterapkan, bahkan angka aman untuk pondasi harus lebih tinggi dari sistem di atasnya. Dengan menyadari hal tersebut, maka akan lebih praktis jika struktur atas dan fondasi didesain secara berbeda.

Kasus yang sama terjadi juga pada serviceability check. Karakter dari ASD Stress yang bekerja di kondisi elastis, menjadikannya metode yang tepat. Beam deflection maupun column displacement harus memenuhi kondisi batasnya untuk mencegah terjadinya deformasi yang bersifat permanen.

ASD Stress vs LRFD

Dengan perencanaan inelastis, memungkinkan perencana untuk mengakses daktilitas struktur. Hal ini dibutuhkan untuk mengantisipasi kondisi beban yang tak terduga, misal beban gempa. Struktur tidak hanya menjadi optimum (terhadap suatu beban rencana yang bersifat tetap), namun juga masih bisa aman ketika terjadi beban besar tak terduga.

Coba anda bayangkan sendiri kalau estimasi beban tak terduga itu dihitung dengan perencanaan elastis, maka tentu akan mahal. Itulah mengapa, untuk bangunan gedung tahan gempa, metode LRFD lebih tepat.

Tamat.

2 thoughts on “ASD dan LRFD, Hemat Mana? (Bagian #2)”

Leave a Reply